Jumat, 29 Oktober 2010

Karakteristik Sumberdaya Alam

Pada umumnya sumberdaya alam dapat dibagi menjadi dua (2) kelompok yaitu dapat diperdagangkan dan tidak dapat diperdagangkan. Masing-masing karakteristiknya dijelaskan seperti berikut ini. Karakteristik sumberdaya yang dapat diperdagangkan/diekspor baik berupa hasil-hasil pertanian, kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif dari sumberdaya alam, serta jasa lingkungan adalah sebagai berikut (Berge, 2004):
1. Secara umum jenis sumberdaya alam ini diproduksi dari sumberdaya yang bersifat subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain tidak memperolehnya (private atau common pool goods).
2. Dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk memanfaatkan jenis-jenis sumberdaya dalam pengertian tradisional (ikan, kayu, bahan tambang, dll) bersifat independen satu dengan lainnya. Hal ini bukannya tidak memungkinkan kelompok secara keseluruhan menguasasi sumberdaya ini secara bersama-sama. Demikian pula, hak untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan oleh kelompok terhadap jasa ekosistem tersebut;
3. Masalah keadilan pemanfaatan sumberdaya ini maupun masalah kelestarian fungsinya adalah masalah manajemen pengelolaan sumberdaya tersebut.

Sementara karakteristik sumberdaya yang tidak dapat diperdagangkan/diekspor baik berupa jasa rekreasi serta jasa dari kawasan dilindungi Tipe II adalah sebagai berikut (Berge, 2004):
1. Secara umum jenis sumberdaya alam ini diproduksi dari sumberdaya yang bersifat non-subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain tetap dapat memperolehnya (public atau club goods) .
2. Hak untuk memanfaatkan jenis sumberdaya ini bersifat independen antara satu dengan lainnya. Namun, pemerintah dapat menguasai – dalam bentuk mengeluarkan kebijakan – pengelolaan sumberdaya tersebut. Apabila terdapat individu/private menguasai sumberdaya ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan kepadanya perlu memperhatikan kepentingan pihak lain;
3. Masalah manajemen pengelolaan sumberdaya ini adalah bagaimana dalam penguasaan individu atas sumberdaya alam juga dapat dijalankan kebijakan publik.

Nilai dan tujuan keberadaan sumberdaya alam dapat diinterpretasikan kembali berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan, yaitu sebagai private goods,club goods, common pool goods, dan public goods, yang berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk mengelolanya. Barang dan jasa dari sumberdaya alam dapat dikategorikan sebagai club goods apabila sumberdaya alam tersebut dipelihara, dan akan dikategorikan menjadi common pool goods apabila barang dan jasa yang diinginkan terdegradasi atau tidak lagi tersedia. Dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan studi mengenai masalah aksi bersama serta pemeliharaan suatu club goods.

Dalam pengelolaan jasa lingkungan sangat tergantung pemanfaatan nilai bukan guna atau pemanfaatan terbatas dari sumberdaya hutan, air dll, masalah-masalah aksi bersama dalam pengelolaan common pool resources akan hadir dalam penyediaan barang dan jasa yang diperlukan. Para pihak, individu atau kelompok yang mempunyai hak untuk mengelola sumberdaya akan menanggung biaya dan oleh karenanya adalah sangat rasional apabila mendapat kompensasi. Namun apabila manfaat barang dan jasa dari ekosistem mempunyai karakter sebagai club goods, biaya yang ditanggung harus termasuk pula biaya sebagai upaya pengendalian kemugkinan terjadinya free riders.

Dalam pengelolaan sumberdaya alam bukan hanya diperlukan pengaturan yang mengarahkan keputusan-keputusan yang terbaik secara individual, melainkan juga diperlukan aksi bersama (collective action). Dalam pengelolaan sumberdaya alam, masalah aksi bersama dapat terjadi dalam dua tingkatan, yaitu:
1. Mengenali kebutuhan koordinasi dan pengaturan perilaku, yaitu untuk menghindari terjadinya free riders;
2. Menyepakati aturan main serta monitaring terhadap perilaku menyimpang serta pengenaan sangsi yang telah ditetapkan dalam aturan main. Dalam hal ini masalahnya bagaimana biaya transaksi didistribusikan diantara pihak-pihak.

Hak-hak atas sumberdaya alam tersebut memiliki tiga tipe, yaitu: 1. Hak dan kewajiban yang dikenakan bagi semua pihak; 2. Hak dan kewajiban yang dikenakan bagi pemilik sumberdaya; 3. Modifikasi kedua hak diatas, dalam hal: Pembatasan penggunaan lahan bagi pemiliknya. Misalnya ditetapkan berdasarkan Undang-undang Tata Ruang; Pengaturan langsung terhadap penggunaan sumberdaya oleh semua pihak; Pengaturan penggunaan teknologi yang dipakai dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hak dan kewajiban atas sumberdaya alam, dengan demikian, tidak hanya dipunyai oleh pemiliknya, tetapi juga dipunyai oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap fungsi sumberdaya alam (stakeholders). Tanpa adanya hak dan kewajiban bagi stakeholders akan menyulitkan kedudukan hukum bagi stakeholders jika ada pelanggaran dalam pengelolaan sumberdaya alam oleh pemiliknya, padahal dampak negative pengelolaan sumberdaya alam dapat mengenai seluruh masyarakat.

Stakeholders itu sendiri terdiri dari individu (private), kelompok (private collective), maupun pemerintah (public state). Ketiga pihak ini berbeda dalam menetapkan tujuan, rencana maupun tindakan yang dlakukan. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu akan sangat tergantung dari bentuk hak serta biaya dan manfaat yang akan diperolehnya. Individu cenderung akan mengambil tindakan yang paling menguntungkannya. Tindakan kelompok menjadi bagian dan sangat ditentukan oleh adanya fenomena aksi bersama sebagaimana dijelaskan di muka. Meskipun secara agregat, tindakan kelompok sangat ditentukan oleh hak dan manfaat serta biaya yang dihadapi.

Pemerintah adalah stakeholder yang paling penting karena, dengan kekuasaannya, dapat mengubah hak dan menentukan besaran dan distribusi biaya dan manfaat yang dihadapi oleh kedua pihak lainnya. Di samping itu, pemerintah biasanya juga sekaligus sebagai penguasa, dalam tingkatan tertentu sebagai pemilik, sumberdaya alam, disamping juga sebagai pihak yang mewakili kepentingan-kepentingan publik.

Hutan Meningkatkan Kuantitas Hujan?

Sejak zaman dahulu pengaruh-pengaruh penutupan hutan (forest cover) terhadap fenomena iklim dan air benar-benar dihargai oleh orang kuno sebagaimana juga kini diakui oleh orang-orang awam. Diantaranya bahwa hutan memberi naungan, memperlunak ekstrim-ekstrim suhu, mengurangi serbuan angin, debu, suara, hutan juga mengintersepsi fraksi-fraksi hujan dan salju, mengurangi limpasan permukaan, meningkatkan kelembaban nisbi dan menghambat salju yang meleleh, erosi tanah dan pengeringan permukaan. Dari semua pengaruh hutan yang langsung, pengaruh terhadap pasokan air ke dalam sungai-sungai dan terhadap keteraturan alirannya adalah yang terpenting. Oleh karena itu lingkungan hutan seringkali dikarakteristikkan sebagai fenomena yang menyenangkan, damai, indah dan sehat.

Banyak konsep-konsep ini berawal dari intuisi atau berasal dari legenda, namun masih tersirat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah dan kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan maupun dalam pengelolaan sumberdaya air. Banyak dari penjelasan-penjelasan terdahulu tentang pengaruh hutan terhadap fenomena hidrologi tidak dapat bertahan terhadap pemeriksaan oleh penelitian ilmiah moderntetapi tetap bertahan sebagai semacam “pengetahuan umum” yang mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Kesalahan-kesalahn konsepsi yang paling bertahan adalah bahwa hutan-hutan meningkatkan presipitasi local, mengurangi dampak tetesan-tetesan hujan di bawah tajuk, mencegah banjir yang membawa bencana dan melestarikan air untuk aliran sungai selama periode-periode kekeringan, dengan kata lain penebangan hutan menurut dugaan akan menurunkan presipitasi kotor dan menyebabkan pengeringan mata air dan sungai-sungai. Para pakar sering keliru bahwa tinggi muka air rata-rata dalam sungai tergantung pada luasan penutupan hutan pada daerah aliran sungai dan bahwa hutan cenderung untuk menyamakan aliran di sepanjang tahun dengan menaikkan muka air yang rendah. Dan juga banyak orang mengira bahwa lahan berhutan, karena ia berhutan menghasilkan aliran rata-rata yang lebih besar; kenyataannya adalah bahwa hutan menggunakan air secara boros dan lahan berhutan hampir selalu menghasilkan volume aliran yang kurang dibandingkan lahan dengan tipe-tipe penutupan lainnya (Zon, 1927 dalam Lee, 1988).

Anggapan bahwa hutan mempengaruhi presipitasi kotor telah bertahan selama berabad-abad. Presipitasi adalah istilah umum untuk produk-produk kondensasi atmosfer yang mencapai permukaan, misalnya hujan, salju, hujan batu es, lapisan es dan virga (juga merupakan bagian dari presipitasi yaitu presipitasi yang mengalami penguapan ketika jatuh) serta presipitasi yang gaib dan presipitasi yang ditangguhkan. Sementara air yang dapat dipresipitasikan adalah massa total uap air di atmosfer (Lee,1988). Kondensasi pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi di atmosfer dan berkembangnya tetes-tetes air atau kristal-kristal es menjadi ukuran yang dapat dipresipitasikan. Proses-proses ini terutama berlangsung bila massa-massa udara yang basah dipaksa ke atas. Keragaman waktu dan ruang dari presipitasi merupakan parameter-parameter hidrologi dasar yang dapat digambarkan untuk maksud-maksud yang umum dengan menggunakan rata-rata klimatologi, ekstrim-ekstrim dan distribusi frekuensi yang bervariasi dengan lokasi, topografi dan sifat-sifat massa udara yang berkaitan. Lingkungan dalam hutan dikenal sebagai suatu tempat dengan kelembaban nisbi yang tinggi dan ini menunjukkan suatu peluang yang lebih besar untuk presipitasi.

Hutan dianggap meningkatkan frekuensi presipitasi lokal di dalam kawasan hutan, dibandingkan dengan dengan presipitasi dalam kawasan-kawasan di dekatnya yang tidak berhutan. Kenyataan sebenarnya adalah bahwa tegakan hutan menikmati presipitasi total yang lebih besar dibandingkan dengan kawasan yang lain yang tidak berhutan karena penakar-penakar terlindung dari arus udara yang dapat mengurangi tangkapan. Namun kepalsuan tentang presipitasi dan kelembaban ini masih bertahan dalam berbagai bentuk bahkan sampai sekarang. Kondisi alami yang secara kebetulan, mengenai penutupan hutan dan presipitasi yang lebih tinggi rupanya menyebabkan, atau setidak-tidaknya memperkuat dugaan bahwa hutan meningkatkan atau menarik hujan dan bentuk-bentuk presipitasi lainnya.

Pendistribusian presipitasi diatas tanah tidaklah didistribusikan secara merata pada suatu lokasi bahkan pada beberapa meter persegi dari luasan permukaan, karena jatuhnya tetesan hujan dan kepingan salju disebarkan oleh gerakan udara turbulen yang timbul sebagai akibat kekasaran permukaan dan gangguan fisik dalam medan angin. Fenomena alam lainnya adalah bahwa bila kabut bergerak horizontal ke dalam suatu tajuk kawasan bervegetasi hutan, tetes kabut diletakkan berhubungan dengan dedaunan. Pada daerah pantai dan pengunungan akumulasi total tetes-tetes dapat menambah jumlah air yang sampai ke permukaan tanah. Fenomena inilah yang sering disebut dengan istilah presipitasi gaib. Dukungan hutan sebagai suatu faktor penyebab biasanya membawa kepada kesimpulan bahwa penebangan hutan akan mengurangi presipitasi, atau bahwa dengan penghijauan akan meningkatkan presipitasi. Presipitasi pada kawasan-kawasan yang berhutan hampir seluruhnya disebabkan oleh faktor-faktor fisik yang tidak berhubungan dengan keberadaan penutupan hutan, namun hutan mempengaruhi proses pengukuran dan distribusi hujan.

Kamis, 28 Oktober 2010

Perambahan Hutan

Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan semakin renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan perkataan lain kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat hubungan harmonis antara manusia dengan hutan dengan segala problematikanya. Hubungan harmonis ini mulai retak, ketika pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli segelintir orang yang mendapat pengusahaan hutan. Di lain pihak, rakyat yang berabad-abad hidup dalam hubungan harmonis dengan hutan disekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber saya ini, baik langsung maupun tidak langsung. Ironi ini menyebabkan masyarakat melakukan berbagai usaha ilegal terhadap hutan, seperti perambahan dan pencurian kayu, karena mereka tidak lagi difungsikan dalam hubungan dengan hutan sekitarnya.

Perambahan hutan dengan segala kompleksitas dan implikasinya merupakan masalah yang bukan saja dihadapi oleh suatu daerah tertentu, tetapi menjadi masalah di berbagai kawasan hitan di tanah air, sehingga perambahan hutan merupakan masalah yang berskala nasional dan perlu mendapat perhatian serius terutama dalam hal penanganannya.

Perambah dapat diartikan Perorangan atau individu maupun kelompok dalam jumlah yang kecil maupun kelompok yang besar, menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan sebagai areal pekebunan maupun pertanian baik yang bersifat sementara ataupun dalam waktu yang cukup lama pada kawasan hutan negara. Aktifitas perambah tidak terbatas pada usaha perkebunan atau pertanian saja tetapi dapat juga dalam bentuk penjarahan hutan untuk mengambil kayu-kayunya ataupun bentuk usaha lain yang menjadikan kawasan sebagai tempat berusaha secara illegal.

Perambahan kawasan hutan lebih disebabkan kurangnya lahan usaha masyarakat sekitar hutan. Okupasi yang dilakukan lebih kepada kepentingan individu akibat keterdesakan sempitnya usaha. Termasuk dalam kategori ini masyarakat yang masih mempraktekkan pola perladangan berpindah. Masyarakat umumnya mengetahui bahwa yang mereka okupasi atau dirambah adalah kawasan hutan negara yang tidak serta merta dapat mereka miliki (Ali Djajono, 2009).
 
Kedekatan serta ketergantungan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan dengan hutan tersebut, menyebabkan adanya interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya. Pada awalnya interaksi interaksi tersebut terjadi dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian alam, tetapi dengan semakin berkembangnya peradaban dan kebutuhan, maka interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan hutan sudah mulai bergeser. Bahkan bukan hanya masyarakat yang dekat dengan hutan lagi yang melakukan interaksi dengan hutan. Interaksi dalam arti negatif saat ini banyak terjadi hutan di seluruh Indonesia, yaitu perambahan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat sekitar hutan melakukan perambahan.
1. Akses Menuju Kawasan. 
2. Kemiskinan masyarakat di sekitar Kawasan
3. Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Masyarakat Perambah
4. Kesuburan Tanah
5. Keterbatasan Pengawasan terhadap Kawasan Hutan
 
Ketersediaan jalan sangat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan. Kemudahan bagi masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulasi bagi mereka untuk membuka lahan-lahan di dalam kawasan hutan. Tersedianya akses jalan akan memudahkan bagi mereka untuk mengangkut barang-barang kebutuhan maupun hasil dari tanaman yang diusahakan.
Aktivitas tambang di dalam kawasan hutan, dapat merupakan penyebab masuknya masyarakat ke dalam kawasan. Biasanya adanya aktivitas tambang, masyarakat semakin banyak melakukan perambahan hutan akibatnya semakin memperparah kondisi dari kawasan itu sendiri. Jalan tambang merupakan salah satu akses bagi perambah. Jika lokasi tambang semakin ke dalam kawasan hutan maka kegiatan perambah juga akan semakin ke dalam, bahkan kegiatan perambahan dapat mereka lakukan beberapa kilometer lebih jauh lagi dari lokasi yag tersedia jalan.
Adanya kenyataan bahwa hampir semua masyarakat disekitar kawasan hutan adalah masyarakat miskin. Setiap wilayah mempunyai karakteristik kemiskinan tersendiri (Ali Djajono, 2009). Menurut Khaerul Tanjung (2006), masyarakat dipedesaan hanya mengandalkan sumber mata pencariannya dari sektor pertanian. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga serta peningkatan kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang kurang mampu melakukan perluasan areal pertaniannya.
Masyarakat perambah, tingkat pendidikan pada umumnya rendah hasil Survei Dephut dan BPS tahun 2004 menyatakan tingkat pendidikan masyarakat sekitar hutan ± 12,8 juta (42,7%) tidak mempunyai ijazah, 11,6 juta (39%) Tamat Sekolah Dasar (SD)/setara, 3,8 juta (12,3%) sampai SMP/setara, dan 1,6 juta (5,2%) SMA/setara (Planolog, 2007).
Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat perambah, berdampak pada kelestarian hutan dan keselamatan lingkungan. Memang terkadang di dalam masyarakat tradisional masih memiliki kearifan lokal yang bisa memanfaatkan dengan menekan dampak yang ditimbulkan, tetapi untuk waktu sekarang kerifan tesebut telah hilang dikarenakan tuntutan hidup dan desakan ekonomi yang semakin sulit.
Selama ini banyak yang beranggapan bahwa kawasan hutan yang selalu hijau dan dihuni oleh pohon-pohon yang besar, memiliki lahan yang subur. Anggapan yang menganggap bahwa lahan hutan subur adalah anggapan yang keliru. Tanah-tanah di hutan yang nampaknya lebih subur sangat rentan terhadap gangguan dari faktor luar. Kehilangan unsur hara di dalam ekosistem hutan mengakibatkan lahan-lahan hutan yang dibuka akan mengalami penurunan kualitas kesuburan tanahnya, ditambah juga dengan sistem pembukaan lahan dengan sistem tebas, tebang dan bakar akan lebih banyak lagi kehilangan material-material unsur hara yang tersimpan pada tumbuhan.
Kurangnya pengawasan dapat menyebabkan masuk perambah ke dalam kawasan hutan. Hal ini dapat memberikan anggapan kepada para perambah bahwa tindakan yang mereka lakukan masih dalam batas yang wajar dalam artian memfungsikan kawasan untuk dimanfaatkan sehingga secara ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan bagi para perambah. 

Berbagai masalah perambahan hutan dan pencurian kayu dapat dilakukan melalui kebijakan-kebijakan seperti melakukan inventarisasi perambah hutan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang akurat tentang jumlah perambah dan luas hutan yang dirambah. Untuk melakukan penurunan perambah hutan dapat dilakukan dengan metode persuasif, yaitu dengan memberikan pengertian-pengertian sehingga perambah bersedia meninggalkan lokasi perambahan dan tidak kembali lagi melakukan perambahan.
Disamping itu, dilakukannya pembinaan terhadap masyarakat adalah untuk menghindari terjadinya perambahan kembali pada kawasan hutan. Pembinaan ini dilakukan dengan penyuluhan bina desa, pembangunan hutan kemasyarakatan (sosialisasi hutan), penanaman bambu batas luar, dan rehabilitasi dan konservasi.
Dalam upaya menyelamatkan kawasan hutan dari kegiatan perambahan oleh masyarakat, melalui koordinasi dengan instansi-instansi serta pihak-pihak terkait telah melakukan upaya-upaya baik preventif maupun represif. Upaya-upaya yang dilakukan berupa pengusiran para perambah keluar dari kawasan hutan, serta penindakan perambah melalui proses hukum.